Jakarta (HO) – Wakil Ketua Umum DPP Barisan Muda Al-Ittihadiyah, Denni Wahyudi mendesak Presiden Jokowi agar mengevaluasi program revitalisasi SMK yang ditambahkan menjadi program revitalisasi Center of excellence sesuai dengan Inpres nomor 9 tahun 2016.
Dirinya menyayangkan mengapa harus ditambahkan menjadi program center of excellence yang dapat membiaskan maksud dari program revitalisasi seperti yang diintruksikan Presiden dengan bentuk multiple treatment.
“Kita khawatirkan akan menjadi bias, sedangkan program revitalisasi diyakini sebagai program untuk meningkatkan kualitas SDM itu sendiri,” ungkapnya, Jumat (19/2/2021).
Ia menambahkan, tujuan dari program revitalisasi sangatlah bagus guna meningkatkan kualitas sumber daya saing manusia Indonesia di era revolusi digital 4.0 dan masa depan. Karena dalam program tersebut terdapat beberapa bentuk bantuan.
“Membangun ruang kelas baru, renovasi, pengkinian alat praktek, manajemen berbasis IT, pelatihan guru, penyiapan guru dan siswa ke dunia industri merupakan bentuk-bentuk bantuan dalam program tersebut,” tambahnya.
“Dan semua itu ada dibawah supervisi dan tanggung jawab Dirjen SMK yang kini hampir gagal, kalau menjadi bias hanya akan menambah PR lagi,” timpalnya.
Dijelaskan, per tanggal 23 Juli 2020 Dirjen Vokasi mengeluarkan petunjuk teknis (Juknis) perihal Bantuan Pemerintah Fasilitasi SMK yang dikembangkan menjadi pusat keunggulan (Center Of Excellence) baik sektor lainnya maupun ekonomi kreatif yang sudah tercantum pagu penerimaan tiap SMK. Untuk sektor lainnya rata-rata Rp. 2.000.000,00 (Dua Milyar Rupiah) sedangkan ekonomi kreatif sebesar Rp. 3.000.000, 00 (Tiga milyar Rupah).
Program ini berbeda sekali dengan revitalisasi yang berlandaskan pada Inpres 9 Tahun 2016 lebih banyak jenis rekening bantuan. Sedangkan program COE hanya mencakup bangunan ruang praktek / kelas baru yang dikembangkan menjadi pusat keunggulan beserta bantuan alat praktik. Tidak hanya itu terdapat pemotongan nilai distribusi yang seharusnya sesuai dengan juknis baik itu sektor lainnya dan ekonomi kreatif.
Ini terjadi pada SMK baik negeri dan swasta kategori sektor lainnya seperti di Lampung dan Kab. Tangerang. Jika sesuai juknis seharusnya mereka mendapat 2 Milyar tapi kenyataanya hanya mendapatkan sekitar 1,25 Milyar. Demikian halnya sektor ekonomi kreatif, jika perihal tersebut karena alasan pandemi maka sudah seharusnya Kemdikbud melalui Dirjen SMK maupun Vokasi harus transparan menyampaikan mengenai pemotongan. Apalagi dimasa pandemi sekolah harus mengeluarkan biaya ekstra dengan membuat infrastruktur e-learning serta subsidi kuota ke peserta didik yang sangat diperlukan. (Fajar)