Lampung (HO) – Maraknya pemberitaan terkait dengan temuan laut Lampung yang sudah memiliki sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB), Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Lampung menerangkan karena adanya perbedaan sistem pemetaan dari era 60-an yang masih manual dengan sistem GPS yang digunakan saat ini. Maka sering ditemukan data yang belum sinkron antara hasil pemetaan yang lama dengan yang baru.
Demikian di ungkapkan Kepala Bidang Pengukuran BPN Lampung, Budianto mengatakan bahwa, terkait temuan laut Lampung yang sudah memiliki sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) di Teluk Bandar Lampung dan satu Teluk Pesawaran, kemudian ada juga perairan Teluk Semangka Tanggamus yang yang berstatus Sertifikat Hak Milik (SHM). Padahal jika dibandingkan dengan peta Google Maps, titik-titik tersebut merupakan laut, bukan daratan.
“Titik HGB di laut itu karena adanya kekeliruan atau kesalahan data yang belum sesuai di aplikasi Bhumi ATR/BPN. Sehingga ada lahan yang titik koordinatnya harusnya berada di daratan, jadi bergeser ke wilayah laut,” kata dia, dilansir dari media Rilis ID, pada Minggu (26/1/2025).
Budianto juga menjelaskan, ada perbedaan sistem pemetaan dari era 60-an yang masih manual dengan sistem GPS yang digunakan saat ini. Maka sering ditemukan data yang belum sinkron antara hasil pemetaan yang lama dengan yang baru.
“Terkait temuan yang ada di Bhumi ATR itu kalau dari sisi teknis memang terdapat perbedaan sumber informasi data yang karena perbedaan sistem pemetaan antara yang lama dengan baru,” ujar dia.
“Salah satunya misalnya karena perbedaan sistem referensi dari pemetaaannya, sehingga memang ada potensi terjadinya bidang tanah yang terletak tidak pada posisi sebenarnya,” jelasnya.
Dia juga mengatakan, BPN Lampung masih terus melakukan pembenahan peta wilayah agar benar-benar sesuai dengan data kepemilikan lahan dan untuk tiga titik HGB yang ada, BPN Lampung menunggu arahan dari pusat.
“Kami menunggu arahan pimpinan, karena terkait kebijakan itu ada di Kementerian di pusat. Kami hanya melaporkan kondisi-kondisi yang jadi perhatian untuk pimpinan kami,” pungkasnya.
Sementara Kabid Sengketa BPN Lampung, Heru Setiono menambahkan, pembuatan peta setiap era selalu berganti. Hal itu juga menjadi kendala untuk menetapkan lokasi lahan karena datanya juga berbeda-beda.
“Dulu menggunakan garis, kemudian meteran, lalu kompas, sekarang teknologi terbaru itu RTK. Data yang lama tidak bisa langsung ditransfer ke sini. Jadi bidang tanah itu akan landing ada dua yang menentukan, yaitu data ukur dan penunjukan,” ucap Heru.
Namun, lanjut dia, untuk penunjukan juga sering terkendala. Karena pemilik sertifikat tanah sering tidak ada di lokasi. Terkait adanya sertifikat HGB di laut, menurutnya hal itu adalah bagian dari proses melengkapi data peta yang belum rampung.
“Jadi kalau ada di laut ini bukan berarti ditaruh sembarangan, tetapi tujuan untuk melengkapi peta itu. Maka ada disclaimer di situ bahwa kepastiannya harus divalidasi ulang,”pungkasnya. (Red).