“Sekarang kamu kerja apa?,” tanya Sukis kepada sahabatnya yang bernama Sugeng suatu hari. Keduanya memang kerap menghabiskan waktu untuk sekedar menenggak kopi, menghilangkan penat setelah seharian bekerja.
“Saya Wartawan” Jawab Sugeng dengan bangga sembari menyeruput seduhan kopi hangat di teras rumah.
Sukis pun berpikir, dulu Sugeng berjualan kain gorden keliling dari rumah ke rumah, hingga ke Instansi pemerintah namun sekarang tiba-tiba sudah beralih profesi menjadi wartawan.
“Gimana kok bisa jadi wartawan,” tanya Sukis lagi karena dia sangat penasaran.
“Saya ikut teman,” jawab Sugeng singkat.
Dengan membaca percakapan di atas, artinya betapa mudah, seorang oknum mengaku wartawan, padahal untuk menjadi seorang jurnalis/wartawan profesional, membutuhkan syarat yang tidak gampang.
Memang, bicara Wartawan terkadang menjadi momok bagi sebagian pejabat tingkat daerah maupun tingkat pusat. Kondisi tersebut, lantas dimanfaatkan oleh banyak oknum.
Misalnya, berbekal Kartu Tanda Anggota (KTA) dan mengatasnamakan suatu lembaga pers, oknum wartawan semakin menjamur bagaikan hama di tengah luasnya tanaman padi.
Seperti halnya yang terjadi di Provinsi Lampung khususnya di Kabupaten Pesawaran, oknum wartawan saat ini semakin menjamur seiring dengan tumbuh pesatnya media digital.
Padahal, sesuai dengan peraturan di dalam Undang-undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 serta kode etik jurnalistik. wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme.
Wartawan adalah seseorang yang kegiatan sehari-harinya mencari informasi, mengumpulkan berita, menyusun berita dan secara teratur menulis laporan untuk dikirim atau dimuat di media massa.
Lalu, tugas utama wartawan adalah menyampaikan informasi yang akurat, objektif, dan relevan kepada pembaca, pendengar, atau pemirsa. dan memiliki tanggung jawab etis yang harus dipenuhi dalam menjalankan profesinya.
Jadi jelas dalam undang-undang tersebut seorang jurnalis atau wartawan harus punya karya tulis dan perusahaan media yang punya legalitas serta berbadan hukum.
Jika seorang yang mengaku wartawan namun tidak punya karya tulis berarti itu oknum alias wartawan abal-abal yang kerja nya hanya menakut-nakuti untuk menutupi kelemahan oknum wartawan tersebut.
Hal ini menjadi tugas kita bersama untuk menekan oknum-oknum yang mengatasnamakan wartawan dan hanya menjual nama suatu organisasi pers nya.
Di sini peran Dewan Pers dan Perusahaan pers serta organisasi pers yang di diakui oleh Dewan Pers untuk sama-sama memberikan edukasi kepada instansi baik pemerintah pusat maupun daerah agar oknum-oknum yang mengatasnamakan wartawan tersebut dapat tergerus dengan sendirinya.
Kemudian tugas Dewan Pers terus melakukan Sekolah Pendidikan Jurnalistik (SJI) dan Uji Kompetensi Wartawan (UKW) kepada Wartawan, dan jika peserta tersebut lulus baru dapat dinyatakan wartawan yang kompeten sehingga dalam menjalankan profesi selaku jurnalis bekerja dengan profesional sesuai dengan kode etik jurnalistik. (*)